Memberi nilai tambah
pada limbah tak hanya punya dampak positif bagi kelestarian alam. Aktivitas
mengolah sampah juga bisa meraup laba. Mahasim, pengusaha di Kebumen, Jateng
menghasilkan puluhan juta rupiah dari kreasi sabut kelapa. Di Kebumen, Jateng
saat musim kemarau harga sabut kelapa mentah hanya Rp 180/butir dan pada musim hujan Rp 100/butir.
Butiran sabut itu selanjutnya dimasukkan ke dalam mesin penggiling hingga menghasilkan
serat atau fiber sabut.
Sepuluh butir sabut bisa
menjadi 1 kg serat sabut. Harga serat sabut Rp 2.600/kg. Dari proses awal itu
saja selisih harganya cukup besar. Apalagi jika serat itu diolah lebih lanjut
menjadi aneka kerajinan. Tentu rupiah yang diperoleh ikut melonjak. Potensi itu
terbaca Mahasim sejak tahun
1997. Bersama rekannya, Darda, ia memulai usaha membuat kerajinan dari sabut
kelapa dengan modal awal Rp 100.000. Produk awal berupa keset berbagai ukuran. Selanjutnya
ia berkreasi membuat tas, topi, sandal, pot, coconet, hingga bantal, guling,
dan kasur dari sabut kelapa.
Selain itu, ia juga
mengombinasikan bahan dasar sabut dengan batok kelapa, kayu kelapa atau glugu
dikreasi menjadi tas dan kursi. Kerangka kursi dari kayu kelapa sementara bagian dalam jok kursi
dari sabut kelapa. Selain itu, Mahasim juga membuat pot dari sabut kelapa, baik
pot biasa maupun pot gantung. Salah satu keunggulan cocopot yaitu bisa menahan
air sehingga menghemat penyiraman. Selain itu, kalau digunakan untuk menanam
bibit cocopot punya keunggulan. Saat memindahkan bibit ke lahan cocopot bisa
sekaligus ditanam. Dibandingkan polybag plastik, cocopot lebih ramah lingkungan
Selain produk kerajinan,
proses penggilingan butiran sabut menjadi serat sabut atau fiber juga mengeluarkan
hasil sampingan berupa cocopeat. Cocopeat ini selanjutnya diolah menjadi pupuk
organik. Setiap hari Hasim menggiling 3.000-4.000 butir sabut. Sepuluh butir sabut bisa menghasilkan
1 kg cocopeat. Sesudah diolah menjadi pupuk, Hasim menjualnya seharga Rp 450 per kg,
di luar ongkos kirim. “Pupuk organik itu dijual ke Kalimatan Timur, 10-20 ton
sebulan.
Waktu mau lebaran mereka
pesan 60 ton per bulan. Jumlah sebanyak itu masih bisa kami layani. Mereka
pernah minta sampai 400 ton per bulan, kami nggak sanggup,” ungkap Mahasim,
warga desa Rantewringin, Kecamatan Buluspesantren, Kebumen, Jateng. Hasil produksi
lain dari pengolahan sabut kelapa ini adalah sabutret atau serat sabut berkaret
yang bisa menjadi isi dari kasur, bantal, guling, maupun jok kursi.
Pengolahannya berbeda
dengan keset atau coconet yang merupakan anyaman sabut fiber. Sabutret
merupakan sabut fiber yang diolah lebih lanjut. Sabut yang sudah digiling lalu
dianyam jadi tali. Kemudian tali tersebut dioven. Selanjutnya tali itu diurai lagi
supaya tidak keriting, lalu ditata di cetakan. Sabut dalam cetakan itu kemudian
disemprot lateks, dan dioven lagi. Jadilah
lembaran sabutret yang kemudian dimasukkan ke dalam sarung guling, bantal,
kasur, atau jok.
Untuk kasur setebal 5 cm
ia menjual seharga Rp 600.000. Sementara kasur setebal 15 cm harganya Rp 1,5
juta. Bantal dan guling harganya Rp 50.000. Ia bercerita bahwa pernah ada
permintaan kasur berisi sabut dari Amerika. Tidak tanggung-tanggung, buyer
Amerika itu minta dikirim 3
kontainer per bulan. Tapi Hasim mengatakan tak sanggup karena skala usahanya
belum bisa mencukupi.
Meski saat ini bisnisnya
terbilang cukup besar. Selain mempekerjakan 15 orang yang menjadi
karyawan tetap, ia juga
punya mitra yang tersebar di lima kecamatan di Kebumen. Mitra paling banyak
dari Kecamatan Buluspesantren dan Kliron. Mereka membuat barang jadi atau
setengah jadi lalu dibawa ke AKAS (Aneka Kerajinan Anyaman Sabut Kelapa) untuk dipasarkan.
Padahal, awalnya Mahasim
hanya punya dua karyawan. Lalu, ia membentuk Kelompok Usaha Bersama (KUB) yang
diberi nama AKAS. Omzet ratusan juta. Salah satu produk yang memberi pemasukan
besar adalah coconet. Setiap bulan Mahasim harus mengirim produk berupa jaring
dari sabut kelapa itu ke Timika, Balikpapan, dan Medan.
Untuk coconet tali kecil
harganya Rp 8.000/m, sementara coconet tali besar dijual seharga Rp 13.000/m.
“Masing-masing tempat itu dikirimi satu tronton. Satu tronton isinya 200 rol.
Satu rol panjangnya 50 m,” papar Mahasim. Jadi, kalau dihitung untuk produk
coconet saja omzet yang diperoleh Rp 240 juta (Rp 8.000 x 50 m x 200 rol x 3).
Itu baru pemasukan dari satu produk.
Selain itu masih ada
pemasukan dari keset kecil sebanyak 5.000 lembar dan keset besar 2.000 lembar. Masing-masing
harganya Rp 5.000 dan Rp 35.000. Selain melayani pasar lokal Kebumen, Mahasim
juga mengirim produk ke Surabaya, Jakarta, Yogyakarta, Pontianak, dan Medan. Ada
pula pengiriman pot gantung untuk eksportir yang selanjutnya akan mengirim ke Australia.
Tiap bulan Mahasim mengirim pot gantung sebanyak 200-300 pot, harganya Rp
30.000/pot. Selain Australia, Mahasim juga melayani permintaan tali sabut ke
Jepang sebanyak 2500 ikat. Satu ikat panjangnya 10 m dan tiap meter dijual seharga
Rp 5.000.
Untuk mencukupi
permintaan sebanyak itu, Mahasim mengaku cukup mengandalkan bahan baku dari Kebumen.
Ia punya 4 pemasok tetap yang tiap Minggu mengirim 1-2 truk. Tiap truk berisi
4.000 butir sabut kelapa. Selain itu, ia juga punya banyak jaringan pedagang kelapa yang
bisa mengirim ratusan butir sabut tiap hari. Jadi, bahan baku tak pernah jadi
masalah. Satu kendala yang kerap dihadapi adalah tenaga kerja.
Jika tiba waktu panen
atau tanam, ia sulit mencari pekerja. Pasalnya, pekerjanya sebagian besar
adalah warga desa yang juga petani. Bila tiba waktu bagi petani harus mengurusi
sawahnya, Mahasim hanya bisa mengandalkan sedikit pekerja. Selain itu, kendala
lain adalah musim hujan. Misalnya untuk pembuatan coconet, biasa dilakukan di
lahan yang cukup luas seperti lapangan. Kalau hujan turun pekerjaan harus
terhenti. Jika hambatan itu muncul, ia kerap minta kelonggaran waktu pengiriman
produk. “Yang tadinya 10 hari, saya minta kelonggaran jadi 20 hari,” kata
Mahasim.
Berkat jalinan relasi
yang baik dengan pelanggan dan pemasok, kendala bisnis itu tak terlalu
berpengaruh terhadap pendapatan. Pohon kelapa merupakan tanaman yang mudah didapati
di hampir seluruh
wilayah Indonesia. Itu sebabnya, bisnis ini bisa diterapkan oleh masyarakat di
daerah manapun. Banyak lembaga atau pemerintah daerah yang mengadakan pelatihan
tentang bisnis kerajinan dari sabut kelapa ini.
Keterampilan Mahasim
baik dalam pembuatan produk maupun penguasaan tentang manajemen bisnis ini membuatnya
laris jadi pembicara di beberapa pelatihan. Karena bisnisnya pernah meraih
juara III Green Productivity tahun 2010, ia diminta berbagai instansi dari wilayah
Sumatra, Jawa, Bali, Kalimantan, Sulawesi, hingga Nusa Tenggara. (Teguh
Jiwabrata).
Editor: Erlangga Djumena
Sumber: Idebisnis.biz
Baca Juga : Jual Beragam Produk Agro dan Home Industry